Melihat Alam Indonesia
Melihat Alam Indonesia:
Singkat Pesona Merbabu
Hari
itu, Jum’at 15 Juli 2016. Kita berangkat dari tempat berkumpul di Surakarta. Bersama
kawan-kawan sedesa, tepatnya anak-anak muda dari Desa kecil pinggiran sungai
bengawan Solo, Ngamban, Sragen. Sampai pada basecamp jalur Selo merbabu,
kira-kira menjelang ashar, untuk menghangatkan persiapan, kita terlebih dahulu
memesan secangkir teh dan sepiring makanan di tempat basecamp pendakian.
“Tadi, di jalur pendakian
baru, kalian ditariki Uang?” Tanya salah seorang polisi hutan taman nasional
gunung Merbabu yang menghampiri kami, “Iya pak, kita diminta uang retribusi
sebesar 15rb, kita sempat heran pak, karena kami baru saja tau ada jalur
pendakian baru itu.” Jawab kami. “Itu jalur ilegal, yang dibuat-buat masyarakat
disana mas, jadi tolong sebarluaskan ya, untuk jangan lewat jalur itu, ini juga
sedang masih kita tindaklanjuti.” Sahut Polisi Hutan itu.
Ya,
setelah berinteraksi singkat dengan polisi hutan itu, kita dihampiri kembali
oleh salah seorang pemiliki rumah basecamp, yang juga sebagai relawan bantuan
untuk para pendaki yang mengalami kecelakaan saat melakukan pendakian, Pak
Jupri panggilannya. Sambil ditemani secangkir teh, membuat obrolan semakin
hangat, sembari mempersiapan untuk melakukan pendakian. “Itu bentuk kecemburuan
masyarakat disana mas, masih dalam satu wilayah selo, tapi berbeda Rt, padahal
jalur baru yang mereka buka itu merupakan jalur evakuasi, tapi malah dijadikan
jalur pendakian,” ungkap pak Jupri, “Kita sempat curiga pak, tapi setelah saya
melihat dicantumkan UU desa, tepat dibawah karcis itu, jadi kita mau
membayarnya.” Jawab saya, “UU desa yang dicantumkan itu tidak benar mas, nomor
nya saja tidak jelas, jadi ini masih ditindaklanjuti oleh pihak pemerintah desa
mas” Tutup Jupri sambil rehat sejenak dengan membentangkan kakinya di alas
karpet biru yang hangat.
Ketika
obrolan masih berlangsung, kita menanya tentang jaringan ponsel, ternyata juga
masih kekurangan akses sinyal jaringan, tampak asing dan entah kemana, bahkan
pak Jupri, rela menaruh ponselnya di sela-sela tepat diatas pintu rumahnya,
guna mencari sinyal ponsel miliknya. Yah, daerah pelosok desa ternyata masih
minim akan tersedianya jaringan sinyal ponsel, mungkin pemerintah masih
berencana melakukan pemerataan jaringan sinyal hingga ke penjuru daerah di
Indonesia, termasuk di wilayah Selo ini. Jika tidak, akses komunikasi dan
informasi di daerah tersebut akan tetap minim, sebelum ada penindakan nyata
guna menjawab setiap permasalahan dan hak-hak masyarakat kecil di pelosok desa.
Jika
bicara tentang merbabu, Gunung ini sendiri merupakan salah satu gunung yang
menjadi destinasi favorit para pendaki, atau pecinta alam. Tapi untuk kita,
lebih tepat pecinta alam saja, karena jam terbang mendaki yang masih minim. Merbabu adalah gunung
yang terletak di Jawa Tengah, dengan ketinggian 1432 Mdpl. 4 jalur pendakian
bisa ditempuh, yaitu Selo, Thekelan, Cuntel, dan Wekas. Gunung ini membentang
hingga sampai 4 wilayah, yaitu Boyolali, Semarang, Salatiga dan Magelang.
Tepat pukul 4 sore, seusai menunaikan
shalat ashar, akhirnya kita mulai berangkat dari tempat pemberangkatan
pendakian, kali ini kita menempuh jalur pendakian Selo, Boyolali. Selama sepanjang
perjalanan menuju puncak, tak henti-hentinya bertemu para pendaki yang ramai
berbondong-bondong sedang naik atau turun dari puncak. Dari Salatiga, Jogja,
Bekasi, hingga Jakarta menumpah ruah mendaki bersama menuju puncak Gunung
merbabu ini. Selain itu, kita juga banyak dihidangkan dengan bukit-bukit yang
menjulang, pohon cemara yang tumbuh bersaingan, kera-kera yang menunggu makanan,
hingga pemandangan megah nan takjub dengan mendung yang menghalangi pandangan
kita. Sejauh mata kita memandang, atau sebebas udara segar yang kita hirup.
Sungguh, kita sangat dimanjakan dengan semua ini, keindahan Alam Indonesia,
kekayaan Jawa Tengah, titihan rapi dari kebesaran Tuhan yang Esa.
Menjelang
Maghrib, kita bersama memutuskan untuk rehat sejenak, di balkon alami tengah perjalanan Gunung merbabu.
Terkumandang adzan yang merdu, bukan dari pengeras suara atau microphone
masjid-masjid, melainkan kawan kita sendiri, Alwi Purnomo, anak pelayaran yang
sedang berjuang menempuh ujian Negara, sekolah pelayaran saat itu, haha.
Bergegas kita menunaikan shalat maghrib berjamaah dengan para pendaki lain,
dengan beralas matras kecil, kita gelar berbagi bersama guna menunaikan ibadah,
bersujud kepada pemilik semesta Alam ini.
Hujan
turun, perlahan, bekal mulai kita jumputi, menghibur perut yang mulai lapar.
Hingga malam pun tiba, keringat bercampur dingin yang menyengat, membuat pendakian
semakin menarik, kadang menghangat. Kondisi tanah yang semakin terjal, licin
dan mudah longsor, dengan penuh hati-hati setiap lintas kita lewati,
tubuh-tubuh pohon membantu kami, sehingga sampailah dengan selamat, di tempat
yang kita tuju, untuk rehat sementara, yaitu tepatnya di Sabana 1. Karena hujan
semakin lebat, kita segera bergegas mendirikan tenda, dan beristirahat
didalamnya. Hal yang menarik, tenda kita masih saja digerumuni air, ternyata
lebatnya hujan membuat tenda pinjaman kami bocor, seadanya kita meratapi
disana, sedangkan malam semakin dingin, hanya dibantu sleeping bad yang kita sewa.
Akhirnya
pagi tiba, rasa dingin dan lelahpun terbayarkan, awan membentang sepanjang
mata kita memandang, terlihat seperti
lautan awan yang bergelombang, dan senja indah memancar dari tidurnya,
menyinari gunung tetangga, merapi yang bisa kita lihat jelas dari latar sabana.
Sungguh, tak mungkin manusia bisa membuat semua ini, sehingga membuat jelas
akan keberadaan dan kebesaran Tuhan semesta alam kita ini.
Komentar
Posting Komentar